Karawang menyimpan satu pusaka yang tak hanya berwujud senjata, tetapi juga sarat kisah sejarah, filosofi, dan kebanggaan lokal: Bedog Lubuk. Dari masa peperangan Mataram melawan VOC hingga era jawara kampung, bedog ini selalu hadir sebagai simbol perlawanan sekaligus penanda identitas masyarakat Karawang.
Jejak Sejarah di Medan Perang
Bedog Lubuk Karawang mencuat dalam catatan sejarah ketika Sultan Agung dari Mataram melancarkan serangan ke Batavia untuk menggempur VOC. Serangan itu dilakukan dalam dua fase besar, namun keduanya gagal. Banyak prajurit Mataram gugur, sebagian mati karena wabah dan kelaparan, sementara sisanya tercerai-berai, bersembunyi tanpa arah yang jelas.
Dalam kondisi tersebut, para pemegang Bedog Lubuk menyembunyikan senjatanya di tempat-tempat paling aman. Menurut cerita tokoh PBLK H. Wahab, pengejaran terhadap pemilik bedog ini terus berlanjut. Ketika Karawang berada di bawah kekuasaan VOC, siapa pun yang ketahuan memiliki golok berbilah ujung turun dengan gagang cékér kidang langsung ditangkap tanpa kesempatan membela diri. Akibatnya, Bedog Lubuk terpendam lama dalam ruang-ruang gelap, tersembunyi bersama kisah kelamnya.
Dari Parahu Nangkub Menjadi Bedog Lubuk
Sebelum dikenal sebagai Bedog Lubuk, bilah berujung turun di Tatar Pasundan disebut Bedog Ujung Turun atau Bedog Parahu Nangkub. Popularitasnya baru menguat pada masa Sultan Agung. Untuk mempersiapkan serangan besar ke Batavia, ia memerintahkan produksi senjata dalam jumlah besar. Tidak kurang dari 800 empu besi dari berbagai daerah, termasuk Sulawesi, dikerahkan untuk membuat senjata.
Karawang menjadi salah satu pusat produksi. Dari situlah muncul istilah “Lubuk” yang berarti tempat, banyak, atau pusat. Ungkapan “segala macam senjata ngalubuk di Karawang” menandai peran penting wilayah ini dalam sejarah militer Mataram. Dari berbagai jenis senjata yang diproduksi, golok dengan bilah parahu nangkub dipilih sebagai senjata wajib karena dianggap paling efektif untuk tebasan, tangkisan, dan serangan.
Agar berbeda dengan golok sejenis, maka dibuatlah ciri khusus pada gagangnya: bentuk Cékér Kidang. Ciri ini sekaligus menjadi kode identitas para prajurit Mataram yang datang dari berbagai kerajaan taklukan seperti Galuh, Sumedanglarang, Nagaratengah, hingga Sukapura. Dengan memperlihatkan bedog bergagang Cékér Kidang, mereka dapat saling mengenali di medan perang dan menghindari bentrokan dengan sesama sekutu. Apalagi pasukan Banten yang turut menjadi lawan, memiliki postur dan wajah serupa, serta sama-sama menggunakan golok berbilah ujung turun. Satu-satunya pembeda adalah gagangnya.
Bedog Lubuk vs Golok Luwuk
Menurut cerita, Bedog Lubuk kerap disalahartikan dengan Golok Luwuk. Padahal keduanya berbeda. Golok Luwuk memiliki ujung bilah yang bervariasi, tidak selalu ujung turun; bisa berbentuk kembang kacang atau lainnya. Sementara Bedog Lubuk selalu konsisten dengan bilah ujung turun atau parahu nangkub.
Selain itu, pada bilah Golok Luwuk terdapat ciri khas berupa garis setengah lingkaran yang disebut garis candra atau garis surya. Jika dua Golok Luwuk ditempelkan, garis itu membentuk lingkaran penuh. Jumlahnya biasanya ganjil, tiga atau lima. Bedog Lubuk tidak memiliki ciri ini. Bilahnya hanya menampilkan pamor umum berupa alur garis. Kalaupun ada kekhususan, biasanya berupa motif puseur bumi di dekat punggung bilah, berbentuk lingkaran kecil berjumlah tiga puluh yang dipercaya sebagai naktu hari.
Bangkit di Era Jawara
Bedog Lubuk kembali muncul di era jawara, sekitar awal abad ke-20 hingga masa perjuangan kemerdekaan. Para jawara kampung menjadikannya senjata utama sekaligus simbol keberanian. Salah satunya adalah Ki Artijem, jawara yang pertama membuka Desa Tempuran. Bedog peninggalannya kini berada di tangan tokoh Komunitas Pelestari Bedog Lubuk Karawang, PBLK H. Wahab. Bentuknya unik dengan bilah sama lebar dari pangkal hingga ujung, sekitar 3,5 cm. Jenis ini dikenal sebagai Kebo Deku.
Ragam Jenis Bedog Lubuk
Bedog Lubuk memiliki tiga jenis bentuk utama:
-
Mancal Panggung – bilah hampir lurus dengan lengkungan samar.
-
Kebo Deku – bilah sama lebar dari pangkal hingga ujung, lurus dan statis seperti penggaris.
-
Bedul Muyung – bilah melebar ke arah ujung, dari 1,5 jari di pangkal hingga 3 jari di ujung.
Keunikan bentuk ini menandakan betapa seni pembuatan bedog bukan sekadar teknik, melainkan perpaduan fungsi, estetika, dan filosofi.
Besi Karawang: Malela, Malelo, dan “Tai Keuyeup”
Selain bentuk, kekhasan Bedog Lubuk juga terletak pada bahan bakunya. Ada bedog yang dibuat dari Besi Malela, diperoleh di sekitar pegunungan Karawang, dan ada yang dari Besi Malelo, ditemukan di kawasan pantai. Bahkan, ada pula yang dibuat dari bahan unik: “tai keuyeup” atau kotoran kepiting/yuyu. Meski terdengar ganjil, teknik tradisional ini dipercaya menghasilkan bilah dengan karakteristik khas.
Dari Senjata Perang ke Pusaka Budaya
Kini Bedog Lubuk Karawang bukan lagi senjata perang, melainkan pusaka yang menyimpan identitas dan kebanggaan masyarakat Karawang. Dari medan laga hingga ruang penyimpanan pusaka, ia terus diwariskan bersama kisah-kisah leluhur.
Bedog Lubuk Karawang adalah pengingat bahwa budaya tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari perlawanan, kebutuhan, sekaligus kreativitas masyarakat. Dari bilah ujung turun hingga gagang cékér kidang, dari besi gunung hingga besi unik “tai keuyeup”, Bedog Lubuk adalah saksi hidup perjalanan Karawang: berani, tangguh, dan tak lekang oleh zaman.