Pelatihan Ekowisata: Menjaga Alam, Menyemai Budaya

Suasana sejuk menyelimuti kawasan Alam Sari, Desa Wadas, Karawang, pagi itu. Rerimbunan pohon berpadu dengan udara segar pedesaan, menjadi latar sempurna bagi diskusi yang jarang terjadi — tentang ekowisata, digitalisasi, dan kebudayaan lokal. Di tengah peserta yang terdiri dari puluhan pelaku usaha wisata dan UMKM, seorang pria berpenampilan sederhana berbicara dengan tenang, namun penuh keyakinan: Asep R. Sundapura, penulis sekaligus budayawan Karawang.

“Ekowisata adalah pariwisata sunyi,” katanya pelan namun tegas.
“Ia tidak mengejar keramaian, tapi menghadirkan kesadaran.”

Kata-kata itu sontak mengundang keheningan. Di hadapan peserta pelatihan Digitalisasi SDM Ekowisata yang digelar Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang, 23 Oktober 2025, Asep seakan mengingatkan kembali hakikat pariwisata yang sering terlupa: bahwa perjalanan bukan sekadar hiburan, tapi perjalanan batin — antara manusia, alam, dan budaya.


Menemukan Ruh Ekowisata

Sebagai seorang budayawan, Asep tidak sekadar berbicara teori. Pemikirannya lahir dari kepekaan terhadap kehidupan masyarakat Karawang, sebuah wilayah yang dikenal dengan sawah luas, kawasan industri, sekaligus sisa-sisa kearifan pedesaan yang masih bertahan.
Baginya, ekowisata bukan soal membangun destinasi megah, tetapi bagaimana menciptakan hubungan yang selaras antara manusia dan lingkungannya.

“Dalam ekowisata, ada tiga unsur utama: konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat. Kalau salah satunya hilang, itu bukan ekowisata, tapi hanya wisata alam biasa,” ujarnya.

Asep menilai, banyak daerah terjebak pada model mass tourism — pariwisata yang berorientasi pada jumlah pengunjung dan keuntungan cepat. Padahal, model seperti itu sering kali justru merusak lingkungan dan mengikis nilai budaya.

“Kita terlalu sibuk membangun tempat wisata, tapi lupa membangun kesadaran wisata,” katanya dengan nada prihatin.

ekowisata asep r sundapura


Budaya Sebagai Arah dan Akar

Bagi Asep R. Sundapura, budaya adalah napas dari setiap pengembangan pariwisata. Tanpa budaya, wisata kehilangan identitas; tanpa alam, budaya kehilangan ruang hidup. Keduanya harus berjalan beriringan.

“Budaya memberi kita rasa, sedangkan alam memberi kita ruang. Ekowisata yang ideal adalah ketika keduanya saling menjaga,” ungkapnya.

Sebagai penulis dan penggiat budaya, Asep sering mengangkat isu ini dalam berbagai forum. Ia percaya, pembangunan wisata yang tidak berpihak pada pelestarian budaya lokal hanya akan menciptakan “kebisingan tanpa makna”.
Ia menyebut konsep ini sebagai “pariwisata sunyi” — pariwisata yang tidak sibuk mencari popularitas, tetapi berupaya menumbuhkan kesadaran ekologis dan kultural.

“Wisata sunyi bukan berarti sepi pengunjung, tapi penuh makna. Orang datang bukan untuk berfoto, tapi untuk belajar mencintai bumi dan menghargai kehidupan,” tuturnya.


Digitalisasi Sebagai Jembatan, Bukan Tujuan

Dalam kegiatan yang sama, UBP Karawang melalui dosennya, dr. Budi Rismayadi dan Dr. Citra Savitri, menekankan pentingnya penguasaan digital bagi pelaku ekowisata agar lebih adaptif di era modern.
Namun Asep memandang hal itu dari sisi yang berbeda. Menurutnya, digitalisasi hanyalah alat untuk memperluas kesadaran dan memperkuat jangkauan budaya — bukan pengganti nilai-nilai yang menjadi ruh pembangunan.

“Teknologi tanpa kearifan akan membuat kita kehilangan arah. Tapi bila budaya menjadi dasarnya, digitalisasi justru bisa menghidupkan kembali nilai-nilai lokal,” katanya.

Pernyataan itu disambut anggukan peserta. Mereka sadar, di tengah arus promosi digital yang begitu deras, penting bagi pelaku wisata untuk tidak kehilangan jati diri. Karawang, dengan segala potensinya, masih punya peluang besar untuk mengembangkan wisata yang berpihak pada alam dan manusia.


Suara Kritis dari Tanah Karawang

Bagi masyarakat budaya di Karawang, nama Asep R. Sundapura bukan hal baru. Ia dikenal sebagai penulis, penggiat budaya, dan pemerhati kebijakan publik yang konsisten berbicara soal pelestarian budaya dan keseimbangan pembangunan.
Melalui tulisan dan berbagai forum, ia sering mengingatkan bahwa pembangunan yang tidak berpijak pada kearifan lokal akan kehilangan jiwa.

“Kita terlalu sering membangun gedung, tapi lupa membangun kesadaran,” ujarnya suatu ketika.

Gagasannya kerap disebut sebagai “jembatan antara modernitas dan tradisi”. Ia percaya bahwa kemajuan daerah seperti Karawang bisa dicapai tanpa harus mengorbankan alam dan budaya. Justru dari keduanya, karakter Karawang yang sejati bisa dikenali dan dikembangkan.


Pelatihan di Alam Sari mungkin hanya berlangsung satu hari, tapi bagi banyak peserta, pertemuan itu meninggalkan kesan mendalam.
Mereka tidak hanya belajar tentang strategi digital atau promosi wisata, tetapi juga tentang makna keberlanjutan, nilai budaya, dan kesadaran ekologis yang disampaikan Asep dengan tutur sederhana.

Di akhir sesi, ia menutup dengan kalimat yang kemudian banyak dikutip peserta di media sosial:

“Alam bukan untuk dieksploitasi, budaya bukan untuk dijual. Keduanya untuk dijaga agar anak cucu kita masih bisa mengenal siapa kita.”

Kata-kata itu seperti mantra — mengingatkan bahwa di balik setiap langkah pembangunan, ada tanggung jawab moral terhadap bumi dan warisan budaya yang kita tinggali.

Leave a Comment